Bulan juni ini menjadi bulan dimana pesta demokrasi diberbagai daerah
digelar. Secara serentak beberapa
Provinsi di Indonesia mengadakan pemilihan umum untuk menentukan siapa
yang akan memimpin daerahnya dalam 5 Tahun kedepan. Jawa Tengah sendiri juga menjadi salah satu
daerah yang menjadi bagian dari pesta demokrasi tersebut. Berbagai persiapan
menuju perhelatan akbar itu telah digelar. Mulai dari masa sosialisasi,
kampanye, debat para calon, dan masa tenang. Masing – masing pasangan juga
telah sepakat untuk menjaga pesta demokrasi ini menjadi ajang yang fair, bebas kampanye hitam dan kondusif.
Ini tercermin dari statement dari masing-masing pasangan yang sudah beredar di
media sosal dan media cetak.
Berkaca dari pergerakan kampanye para pasangan calon, ada perbedaan yang
cukup signifikan dalam pemilihan umum 1 dasawarsa ini. Sosial media, sebagai
sebuah platform komunikasi digital baru dalam masyarakat mulai dimaksimalkan
pemanfaatannya sebagai media kampanye dan media informasi oleh para pasangan
calon dan partai pendukungnya. Berbagai citra dan konten mulai dibuat dan
disebarluaskan lewat berbagai platform digital untuk menarik simpati,
menyampaikan visi misi, dan juga meraih kepercayaan dari para calon pemilihnya.
Para pasangan calon juga mulai mengurangi janji-janji yang berpotensi terekam
dalam jejak digital yang pada akhirnya justru menjadi bomerang ketika nantinya
mereka telah terpilih menjadi pemimpin di suatu daerah. Beragam macam
pencapaian dibungkus sedemikian rupa untuk mempresentasikan bahwa mereka adalah
orang yang layak untuk diberi suara.
Pemanfaatan sosial media sebagai media kampanye ini juga memperbesar
presentase respon dari para pemilih-pemilih muda. Para pelajar dan mahasiswa dikenal
sangat kritis terhadap unsur-unsur estetika dalam bersosial media. Ketika tim
kampanye mampu melihat potensi itu dan kemudian bisa merumuskan konsep promosi
dengan benar, hal ini menjadi kunci utama bagaimana para pasangan calon
mendulang suara dari para pemilih pemula. Layaknya sebuah merek, pasangan calon
juga merupakan sebuah produk yang ditawarkan. Siapapun yang mampu memetakan
pasar digital dan membuat konten yang menarik untuk segmentasi pasarnya,
merekalah yang akan memenangkan persaingan di dunia digital tersebut.
Janji, Realita dan Kabar Bohong
Sekarang ini, hampir semua
kandidat telah mampu mengatur sedemikian rupa mengenai citra mereka di sosial
media. Ini tentunya berkat tim-tim branding
yang menjadi penyokong setiap tampilan yang ingin disampaikan kepada netizen.
Namun, problematika selanjutnya yang dihadapi oleh Badan Pengawas Pemilu dan
KPU adalah mengenai regulasi dan tata cara bersosial media dalam kaitannya
dengan kampanye dunia maya. Seperti diketahui bahwa media sosial tidak termasuk
produk pers, karena itu mereka yang terlibat dalam pemanfaatan transaksi
informasi tidak terikat dengan Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers.
Komisi Pemilihan Umum sendiri melalui Peraturan KPU Nomor 4/2017 tentang
Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau
Wali Kota dan Wakil Wali Kota, membatasi akun resmi setiap pasangan paling
banyak lima akun. Regulasi yang sama juga mengatur isi atau konten kampanye di
media sosial. Namun apakah itu cukup untuk mengontrol kebohongan –kebohongan
yang timbul dalam hitungan detik di sosial media? Apakah ini mampu untuk
meredam janji dan realita yang dipelintir secara konteks oleh lawan politik
untuk mendongkrak simpatik?. Faktanya, salah satu kelemahan dari media sosial
adalah, ketika sesuatu propaganda telah dirilis, tidak ada kekuatan sebesar
apapun yang mampu untuk meralat atau mengubah pengaruh dari berita tersebut, sekalipun klarifikasi telah
dilakukan oleh sang penyebar konten. Lalu, bagaimana solusinya?
Keterlibatan Sosial Media Analysist
Salah satu solusi alternatif adalah dengan membangun jaringan sosial
media di seluruh instansi pengawas pemilu. Mulai dari kecamatan hingga ke pusat
jaringan ini saling terintegrasi demi tercapainya kesamaan dan kesataraan bobot
informasi. Pembangunan saluran ini dimulai dengan aktivasi dari konten – konten
edukasi seputaran pemilu. Edukasi ini tidak hanya berupa aturan-aturan terkait
regulasi, namun juga dengan membuat konten untuk membangun mental melakukan
pencarian lebih lanjut sebelum menerima setiap ide yang dilontarkan di sosial
media.
Penekanan terhadap adanya Undang-Undang No 19/2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik juga dapat dijadikan bahan kampanye oleh Badan Pengawas Pemilu
dan Komisi Pemilihan Umum. Harapannya adalah, para pengguna media sosial
memahami konsekuensi yang akan dihadapi ketika mereka menjadi bagian dari
gerbong hoax tersebut. Namun itu saja
tidaklah cukup. Ditengah terbuka lebarnya informasi di dunia digital ini,
pendekatan “moral sense” menjadi salah satu jawaban untuk mencegah kabar bohong
tersebar luas, yang justru menciderai pesta demokrasi tersebut.
Alternatif lain yang bisa dilakukan adalah dengan bekerja sama dengan
akun-akun publik yang bertumbuh dimasing-masing kota. Seperti kita ketahui
bahwa ditiap-tiap kota bertumbuh akun-akun layanan informasi yang dikelola oleh
individu-individu. Dengan menjalin hubungan dan kerjasama dengan mereka, KPU
dan Bawaslu akan lebih mudah untuk memantau dan berkoordinasi ketika dikemudian
hari berkembang isu/kabar bohong yang bertujuan untuk saling menjatuhkan
kandidat.
Pada akhirnya, mengutip quote
dari Romo Prof. Dr. Frans Magnis Suseno SJ, bahwa pemilu itu bukan untuk
memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa.
.
Henry Casandra Gultom /
@nandagoeltom
Staf Pengajar Universitas PGRI Semarang